Taman Bermain yang Hilang Malam hari merupakan malam yang ditunggu oleh Kupi, kepiting kecil. Ia menikmati saat-saat berjalan pelahan di gundukan pasir bersama ayahnya. Mereka menanti datangnya air pasang, yang akan membawa mereka ke dunia yang berbeda. Ya, Kupi selalu menanti saat-saat mereka terempas oleh air pasang, lalu tiba di hutan bakau. Nanti di sana ia pasti akan bertemu dengan teman-teman kecilnya yang lain. Upi si udang kecil, Kuro si kura-kura, dan teman-teman yang lebih besar seperti Bangau Cilik dan Momo si monyet. Di antara akar bakau mereka bisa bermain kejarkejaran, petak umpet, atau tidur di sela akar yang melintang. Seru sekali saat-saat itu. Adakalanya mereka berpisah, terbawa oleh pasang surut, kembali ke laut bebas. Namun, suatu hari mereka bertemu lagi dan bermain bersama lagi. Suasana di hutan bakau tentu berbeda dengan suasana di laut lepas. Airnya pun berbeda. Tidak asin seperti air laut, tetapi tidak juga tawar. Kupi tidak tahu apa namanya. Berbeda...
Perbedaan Bukanlah Penghalang Tidak seperti biasa, hari Minggu ini sekolah terlihat ramai. Hari itu, semua siswa diminta datang ke sekolah untuk menghias kelas masing-masing. Hari Senin akan diadakan lomba menyambut hari kemerdekaan. Bapak kepala sekolah berpesan, tiap kelas harus terlihat unik dengan kreasi anak-anak. Udin dan teman-teman sekelasnya juga datang ke sekolah. Pembagian tugas membuat hiasan telah dilakukan Udin dan teman-teman di hari Jumat yang lalu. Menghias kelas merupakan tanggung jawab bersama. Pagi-pagi hampir semua siswa di kelas Udin sudah hadir. Hanya Edo dan Martha yang belum terlihat. Edo dan Martha sudah meminta izin pada teman-temannya untuk hadir terlambat. Mereka harus pergi ke Sekolah Minggu di gereja untuk melakukan ibadah pagi. Udin dan teman-teman lainnya tidak keberatan. Sebelum ke sekolah, Udin dan Siti mampir ke rumah Edo, lalu ke rumah ...
Hebatnya Dokter Kami Ia adalah Dokter Rana, seorang dokter muda yang sederhana dan terampil. Ayahnya mantan kepala desa kami yang telah meninggal dunia. Dokter Rana baru kembali ke desa kami dua tahun lalu, setelah sepuluh tahun lebih merantau ke kota. Ia memperoleh beasiswa di Fakultas Kedokteran dan setelah lulus ia praktik di Rumah Sakit Umum Kabupaten setelah lulus. Semenjak ia pulang dan praktik di balai kesehatan desa, aku sering mendengar perbincangan warga yang heran atas keputusan Dokter Rana untuk kembali ke desa. Bukankah penghasilan sebagai dokter di kota jauh lebih besar? Pada ayahku, Dokter Rana bercerita bahwa cita-citanya menjadi dokter dulu muncul karena melihat kesadaran hidup sehat masyarakat desa yang sangat rendah. Sungai dipakai untuk mandi, mencuci, kakus lalu airnya dikonsumsi. Hasil bumi dan peternakan tidak dimanfaatkan untuk membentuk pola makan sehat. Warga lebih suka menjualnya ke kota dan uangnya dipakai untuk membeli makanan instan. Selama praktik d...